29 Januari 2011

Hubungan Makhluk dengan Tuhan


Hubungan Makhluk dengan Tuhan

Pada suatu hari ikan-ikan di samudra berkumpul di hadapan pemimpin mereka. Mereka berkata, "Ya Fulan, kami bermaksud menghadap lautan. Bukanlah karena ia kami berada dan tanpa ia kami tiada. Tunjukan kepada kami arahnya dan ajari kami jalan untuk menuju dan mencapainya. Sudah lama kami tidak tahu di mana tempatnya dan di mana arahnya.

Pemimpinnya berkata, "Kawan-kawan, saudara-saudara, ucapan ini tidak layak bagi kalian dan orang-orang seperti kalian. Lautan terlalu luas untuk kalian capai. Ini bukan urusanmu. Ini juga bukan posisimu. Diamlah. Janganlah berbicara dengan pembicaraan seperti ini. Cukuplah kalian yakini bahwa kalian berada karena adanya dan tidak akan ada tanpa keberadaannya.

Mereka berkata, "Jawaban ini tidak akan ada gunanya bagi kami. Larangan tidak akan menahan kami. Kami harus menujunya. Anda harus menunjuki kami untuk mengenalnya dan membimbing kami ke dalam wujudnya. "

Ketika sang pemimpin melihat gelagat ini dan larangannya tidak digubris, ia mulai menjelaskan, "Saudara-saudara, lautan yang kalian cari, yang kalian ingin temui, ada bersamamu dan kalian bersamanya. Ia meliputi kamu dan kalian meliputinya. Yang meliputi tidak terpisah dari yang diliputi. Lautan itu adalah yang di situ kalian berada. Kemanapun kamu menghadap, di situ ada Lautan. Lautan bersama kamu dan kamu barsama lautan. Kamu pada lautan dan lautan pada kamu. Ia tidak gaib darimu, kalian juga tidak gaib darinya. Ia lebih dekat darimu dari pada urat lehermu."

Ketika mendengar ucapan itu, mereka semua bangkit untuk membunuh sang pemimpin. Sang pemimpin lalu berkata kepada mereka, "Apa salahku sehingga kalian mau membunuhku.

Mereka berkata, "Karena, menurutmu, lautan yang kami cari adalah lautan yang di situ kami berada. Bukankah kami berada di dalam air. Apa hubungannya air dengan lautan? Kamu hanya ingin menyesatkan kami dari jalan-nya. Kamu hanya memperdayakan kami. "

Sang pemimpin berkata, "Demi Allah, bukan begitu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Sebetulnya lautan dan air itu satu dalam hakikat. Di antara keduanya tidak ada perbedaan. Air adalah nama lautan dari segi hakikat dan wujud. Lautan adalah nama baginya dari segi kesempurnaan, kekhususan, keluasan, dan kebesaran di atas semua fenomena."

Cerita di atas untuk menggambarkan hubungan makhluk dengan Tuhan seolah-olah hubungan antara penghuni lautan dengan lautan. Perbandingan ini tentu saja tidak tepat. Ia hanyalah upaya untuk menyederhanakan hakikat yang sangat jauh dari ruang lingkup pengalaman kita. Walaupun begitu, kebanyakan orang tidak juga memahaminya. Alih-alih berterima kasih, dalam sejarah, seperti ikan-ikan itu, kita menolak penjelasan itu, mengafirkan mufasirnya, dan tidak jarang membunuhnya. Yang jarang adalah sikap merendah menghadapi sesuatu yang tidak kita pahami. Lebih jarang lagi adalah kesediaan untuk memahami dan menerima penjelasan, seperti yang dilakukan oleh para pendeta Nasrani di zaman khalifah Abu bakar:

Sekelompok pendeta datang ke Madinah. Mereka bertanya kepada Abu Bakar tentang Nabi dan Kitab yang dibawanya. Abu bakar berkata, "Betul, telah datang kepada kami Nabi kami dan ia membawa kitab suci. "Mereka bertanya lagi, "Adakah di dalam kitab suci itu disebut wajah Allah? "Kata Abu Bakar, "Betul.""Apa tafsirnya? "Tanya mereka. Abu Bakar berkata, "ini pertanyaan yang terlarang dalam agama kami. Nabi Saw. tidak menjelaskan kepada kami. "Pendeta itu tertawa seraya berkata, "Demi Allah, Nabi kamu itu hanya pendusta belaka. Kitab suci kamu itu hanyalah kepalsuan dan kebohongan saja. "Ketika mereka keluar dari situ, Salman mengajak mereka menemui Ali bin Abi Thalib. Kepadanya, mereka mengajukan pertanyaan yang sama, Ali berkata, "Aku akan menjawabnya dengan demonstrasi, tidak dengan ucapan. "Ali kemudian memerintahkan kepada seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, dan ia pun membakarnya. Ketika kayu itu terbakar dan menjadi api, "Ali bertanya kepada para pendeta, "Wahai pendeta, mana muka api? "Semua pendeta itu menjawab, "Ini semua muka api. "Mendengar itu, Ali berkata, "Semua wujud ini adalah wajah Allah. (Kemudian 'Ali membaca ayat Al-Quran). Kemana pun kamu menghadap di situ wajah Allah, (QS Al-Baqarah [2]: 115). Semuanya binasa kecuali wajah-Nya. Kepunyaan-Nya segala hukum. Dan kepadanya kamu semua kembali (QS Al-Qashash [28]: 88). "Mendengar penjelasan itu, semua pendeta itu masuk Islam dan menjadi pengikut tauhid yang arif.

Dalam peristiwa tersebut, para pendeta berhasil memahami makna ayat-ayat itu. Tapi Ali, yang bergelar Taj Al-Arifin, pernah mengalami peristiwa yang mengenaskan. Ia menyampaikan sesuatu yang berada di luar kemampuan orang yang mendengarnya. Hamam, seorang yang taat beribadah, memohon kepada Ali untuk menjelaskan tanda-tanda orang-orang takwa. Ali berkhotbah tentang hubungan seorang yang bertakwa dengan Tuhan. Begitu 'Ali selesai berkhotbah, Hamam jatuh pingsan dan akhirnya meninggal dunia."Tadi aku sebelumnya mencemaskan dia."

Para Nabi dan kekasih-kekasih Tuhan adalah orang-orang yang telah mencapai tahap yang sangat tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan. Kedekatan mereka dengan Tuhan telah memberikan kepada mereka  pengetahuan langsung ('ilm hudhuri); dan bukan pengetahuan yang berdasarkan pembuktian rasioal {'ilm hushuli). Ketika mereka ingin menyampaikan apa yang mereka saksikan kepada orang awam, mereka tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat dan cepat dimengerti.

Kenyataan inilah yang menyebabkan lidah Musa a.s. terikat sehingga ia berdoa: "Tuhan-ku, legakan dadaku, mudahkan urusanku, dan lepaskan ikatan lidahku, supaya mereka mengerti pembicaraanku" (QS Tha Ha [20]: 25-28). Ini juga yang menyebabkan Nabi Muhamad Saw. berkata, "Tidak seorang nabi pun yang merasakan sakit seperti yang kuderita. Maknanya berkaitan dengan ketidakmampuan Nabi untuk menyampaikan secara utuh apa yang dialami, atau menemukan orang yang dapat menerimanya. Hal itu menyedihkan beliau meskipun pengalaman beliau lebih besar dibanding penglaman para nabi sebelumnya, namun dia tidak dapat menyampaikannya kepada semua orang sesuai dengan keinginannya. Bayangkan kesedihan seorang ayah yang ingin membuat anaknya yang buta dapat memahami matahari; bagaimana ia dapat menyampaikannya sehingga dapat menjelaskan arti dari cahaya."

Kita yang awam ini adalah orang-orang buta dan tuli. Kita hanya menyaksikan hal-hal yang material saja, wujud yang terendah. Dalam pandangan Ibnu Arabi, materi adalah wujud yang paling banyak adam-nya\ eksistensi yang paling non-eksisten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar