31 Januari 2011

kisah sederhana

 
Kisah sederhana

  Seorang Muslim tua Amerika bertahan hidup di suatu perkebunan di suatu pegunungan sebelah timur Negara bagian Kentucky dengan cucu lelakinya ygmasih muda. Setiap pagi Kakek bangun lebih awal dan membaca Quran di meja makan di dapurnya. Cucu lelaki nya ingin sekali menjadi seperti kakeknya dan mencoba untuk menirunya dalam cara apapun semampunya.
Suatu hari sang cucu nya bertanya, " Kakek! Aku mencoba untuk membaca Qur'An seperti yang kakek lakukan tetapi aku tidak memahaminya, dan apa yang aku pahami aku lupakan secepat aku menutup buku. Apa sih kebaikan dari membaca Qur'An? Dengan tenang sang Kakek dengan meletakkan batubara di dasar keranjang, memutar sambil melobangi keranjang nya ia menjawab, " Bawa keranjang batubara ini ke sungai dan bawa kemari lagi penuhi dengan air." Maka sang cucu melakukan seperti yang diperintahkan kakek, tetapi semua air habis menetes sebelum tiba di depan rumahnya.
 Kakek tertawa dan berkata, "Lain kali kamu harus melakukukannya lebih cepat lagi," Maka ia menyuruh cucunya kembali ke sungai dengan keranjang tsb untuk dicoba lagi. Sang cucu berlari lebih cepat, tetapi tetap, lagi2 keranjangnya kosong sebelum ia tiba di depan rumah. Dengan terengah-engah, ia berkata kepada kakek nya bahwa mustahil membawa air dari sungai dengan keranjang yang sudah dibolongi, maka sang cucu mengambil ember sebagai gantinya.
 Sang kakek berkata, " Aku tidak mau ember itu; aku hanya mau keranjang batubara itu. Ayolah, usaha kamu kurang cukup," maka sang kakek pergi ke luar pintu untuk mengamati usaha cucu laki-lakinya itu. Cucu nya yakin sekali bahwa hal itu mustahil, tetapi ia tetap ingin menunjukkan kepada kakek nya, biar sekalipun ia berlari secepat-cepatnya, air tetap akan bocor keluar sebelum ia sampai ke rumah. Sekali lagi sang cucu mengambil air ke dalam sungai dan berlari sekuat tenaga menghampiri kakek, tetapi ketika ia sampai didepan kakek keranjang sudah kosong lagi. Sambil terengah-engah ia berkata, " Lihat Kek, percuma!" " Jadi kamu pikir percuma?" Jawab kakek. Kakek berkata, " Lihatlah keranjangnya." Sang cucu menurut, melihat ke dalam keranjangnya dan untuk pertama kalinya menyadari bahwa keranjang itu sekarang berbeda. Keranjang itu telah berubah dari keranjang batubara yang tua kotor dan kini bersih, luar dalam. " Cucuku, hal itulah yang terjadi ketika kamu membaca Qur'An. Kamu tidak bisa memahami atau ingat segalanya, tetapi ketika kamu membaca nya lagi, kamu akan berubah, luar dalam. Itu adalah karunia dari Allah di dalam hidup kita."

29 Januari 2011

Industri tangis Menangis

Industri Tangis Menangis

Kini sudah mulai muncul industri tangis menangis. Ada yang membisniskan tangis untuk ritual kematian. Ada juga tangis beneran ketika rakyat kelaparan dan bencana dibiarkan oleh para elit penguasa, seperti yang terjadi di Pasar Besar Malang (PBM) pasca kebakaran Senin, 3 Maret 2003. Ada lagi sungai yang dipenuhi air mata buaya, agar tangisnya menjadi komoditas politik. Ada tangisan para penjahat di sudut penjara karena menyesal. Dan bahkan ada sejuta tangisan yang masih tak terhingga macamnya.

Bangsa kita diselimuti oleh kriminal, syahwat, dan air mata. Lalu, ironisnya, muncul industri tangis atas nama dzikir nasional. Lihat saja, suasana teaterikal sehari sebelum 1 Muharam lalu atau pas saat Matahari Dept. Store ludes terbakar dan menghanguskan kios milik orang kecil. Semuanya diekspos di sebuah TV swasta.

Bahkan, kemudian muncul gerakan ritual tangis di mana-mana dengan metode psikoterapi yang mengejutkan syaraf-syaraf tangis. Lalu nafsu tangis memaksa seseorang untuk menekan dada agar air mata keluar, membelah pipi dengan senggukan-senggukan, kemudian seakan-akan senggukan itu adalah puncak spiritual.

Tangis dalam dunia sufi adalah akibat, bukan rekayasa. Tangis yang mulia adalah kelembutan dan keharuan jiwa. Dan itu pun muncul karena dua hal. Kalau tidak karena cinta dan kasih sayang, bisa karena penyesalan. Tetapi penyesalan tidak harus dieksploitir pula, karena bisa timbul nafsu penyesalan.

Silakan Anda menangis jika tangisan itu bukan tangisan semu. Beda antara tangis semu dengan tangis yang sesungguhnya. Seperti beda antara bumi dan langit. Ketika Anda berusaha menangis melalui prosesi ritual dramatis yang diusahakan melalui gerak dan retorika, pastilah hasilnya tangisan semua. Penuh dengan riya' dan emosi kekanak-kanakan.

Sedangkan tangis yang hakiki adalah tangis keharuan air mata yang muncul dari telaga sirrul asrar (rahasia hakikat batin). Karena kefanaan hamba di depan Allah. Air mata yang menurut Ibnu Araby menjadi bahan utama terciptanya jagad semesta.

Anda sedang menonton sinetron? Film di layar lebar? Dengan kisah emosional yang mengharukan, lalu salah satu penonton basah pipinya dengan senggukan dada. Tiba-tiba seluruh gedung menumpahkan air matanya. Apakah itu pertanda Anda sedang menangisi puncak spiritual? Sekali pun yang Anda hadirkan adalah dimensi Ketuhanan?

Memang, bangsa kita hari ini sedikit sekali yang menangis terhadap nasib kebangsaan dan ummat. Termasuk para elit, pejabat, dan tokohnya sudah tidak ada lagi yang menangis. Kalau yang ini memang tidak mampu menangis - bahkan juga Anda - karena hati telah mengeras bagai batu. Hatinya membatu, otaknya tumpul, dan nafsunya liar.

Tetapi sangat menyedihkan kalau tangisan itu dijadikan industri publik dalam bungkus ritual. Lebih ironis lagi.

Kesimpulannya, Anda jangan terpesona dan terbengong-bengong dengan tangisan. Kecuali memang tangisan itu adalah anugerah Ilahi. Bukan "ditangis-tangiskan" seperti ketoprak dan sinetron di TV. Sebab rekayasa tangis itu akan memunculkan refleksi bahwa Anda merasa bisa menangis, lalu Anda merasa paling menyesal, paling berhamba kepada Tuhan, paling basah hatinya, paling hebat jiwanya.

Dengan kondisi bersamaan, mereka yang tidak menangis di ritual itu dianggap sebagai orang yang hatinya keras membatu. Bisa jadi justru yang tidak menangis itu, malah diselamatkan Allah dari drama air mata profanika. Masya Allah!

Allah itu tidak Ghoib

Allah Itu Tidak Ghoib

Sejak kecil, begitu akrab di telinga kita yang menyebut bahwa Allah itu gaib. Bahkan sering orang menegaskan; "terserah yang gaib-lah!", dan sebagainya. Konotasi gaib karena Allah tidak bisa dilihat secara kasat mata oleh kita dan kelak kegaiban Allah sejajar dengan kegaiban hal-hal gaib lain.

Padahal, tidak satu pun asma dan Asmaul Husna (nama-nama agung Allah) yang menyebut bahwa Allah itu gaib, tahu bersifat gaib, atau punya nama al Gaibu di Asmaul Husna. Tidak ada.

Kegaiban Allah itu muncul hanya karena kegelapan kosmos spiritual kita saja yang membuat diri kita terhalang melihat Allah Yang Maha Nyata, Maha Jelas, Maha Dzohir, Maha Batin, Maha Terang Benderang, dan pemilik segala maha.

Sesungguhnya, tak satu pun di jagad semesta ini yang bisa menutupi Allah. Kita mengatakan Allah itu gaib hanya karena menutup diri sendiri saja sehingga tidak bisa melihat Allah. Oleh karenanya Ibnu Athaillah as Sakandary dalam kitab Al-Hikam menegaskan: Bagaimana bisa terbayang ada sesuatu yang menutupi Allah, padahal Dia tampak pada segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu menutupi Allah, sedangkan Allah tampak di setiap sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu bisa menutupi Allah, padahal Allah itulah yang hadir untuk segala sesuatu. Bagaimana dapat dibayangkan jika sesuatu itu menutup Allah, sedang Allah sudah ada sebelum segala sesuatunya ada.

Bagaimana segala sesuatu menutup Allah, sedangkan Allah itu lebih jelas ketimbang segalanya. Dia adalah Yang Maha Esa. Tak ada yang menandingi dan menyamai-Nya. Dia lebih dekat dari urat nadi Anda sekali pun.

Wacana di atas mempertegas betapa Allah itu tidak gaib. Yang gaib justru hawa nafsu kita ini. Manakala kita tidak bisa melihat Allah di balik jagad semesta ini, berarti mata hati kita sedang dikaburkan untuk melihat nurullah (cahaya Allah). Sebab itu, kita harus melihat Allah di mana-mana, kapan saja tiada batas waktu terhingga.

Nurullah adalah awal dari muroqobah kita dan muraqobah adalah awal dan musyahadah (penyaksian Allah dalam jiwa), dan kelak baru mengenal Allah dalam arti yang sesungguhnya. Inilah ma'rifatullah.

DO’A TAWASUL SYEKH ABIL HASAN ASY SYADZILY


DO’A TAWASUL SYEKH ABIL HASAN ASY SYADZILY
Dengan nama allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Segala puji bagi allah,tuhan seru sekalian alam. Dengan pujian yang sebanding dengan ni’mat ni’matNya dan yang menjamin tambahan tambahaNya. Wahai tuhan kami, hanya bagi Mu segala puji, sebagaimana pujian itu patut terhadap kemuliaan Dzat Mu dan keagungan kerajaan Mu.
Ya Allah, limpahkanlah rahmat atas junjungan ami Muhammad SAW, yang dengan rahmat itu Engkau akan menyelamatkan kami dari semua keadaan yang merisaukan dan marahbahaya, mengabulkan kami atas semua hajat,mensucikan kami dari semua keburukan/kesalahan, mengangkat kami kepada setinggi tingginya derajat disisi Mu, menyampaikan kamin kepada sempurna semprnanya perkara dari semua kebaikan pada waktu hidup dan setelah mati.
Ya Allah, karuniakanlah ridlo atas Syekh abl hasan Asy syadzily beserta para leluhurnya,keturunanya,gurunya,muridnya,istrinya,saudaranya, dan para seluruh  wali wali muqorrobin, dan para ulama yang mengamalkan ilmunya, serta seluru umat Muhammad SAW,setara dengan jumlah bilangan makhluqMu,keridloan DzatMu,timbangan Arsy Mu, dan tinta kalimat kalimat Mu
Ya Allah, angkatlah derajat dan tinggikanlah kedudukan mereka (yaitu Syekh Abil hasan beserta para leluhur , keturunanya dan seterusnya)., dan kumpulkanlah kami kedalam golonganya, masukanlah kami kedalam penjagaanya, matikanlah kami pada thoriqotnya, bersama orang orang yang Engkau karuniai nikmat, yaitu para nabi,para shiddiqin, para syuhada, dan para sholihin.
Ya Allah, dengan wasilah derajat syekh abil hasan disisiMu, kemulian beliau atasMu dan dengan sifat kepemimpinan beliau disisiMu, kami mohon kepadaMu seluruh kebaikan, dan kami berlindung kepada Mu dari semua keburukan.
Wahai Dzat yang memiliki segala urusan, kami mohon kepadaMu ya Alloh,ya Alloh, yang kesemuanya dengan wasilah Syekh Abil Haan Asy Syadzily mudah mudahan Engkau mengabulkan seluruh hajat kami, mengangkat derajat kami,menyembuhkan semua orang yang sakit diantara kami, melapangkan semua kesusahan kami,menghilangkan semua kesedihan kami,mengendalikan semua aemua musuh kami, menggentarkan lawan lawan kami, menyemarakan negeri kami dengan iman,islam dan ni’mat. Serta karuniakanlah kepada kami rezeqi kebaikan pada akhir hayat kami.
Semoga Alloh melimpahkan rahmat pada junjungan kami,nabi Muhammad SAW, sebagai nabinya Umat dan yang menghilangkas kesusahan, beserta segenap keluarga dan sahabat sahabat beliau, dan semoga Alloh member keselamatan dengan keselamatan yang abadi. Segala puji bagi Alloh, tuhan seru sekalian alam.

Hubungan Makhluk dengan Tuhan


Hubungan Makhluk dengan Tuhan

Pada suatu hari ikan-ikan di samudra berkumpul di hadapan pemimpin mereka. Mereka berkata, "Ya Fulan, kami bermaksud menghadap lautan. Bukanlah karena ia kami berada dan tanpa ia kami tiada. Tunjukan kepada kami arahnya dan ajari kami jalan untuk menuju dan mencapainya. Sudah lama kami tidak tahu di mana tempatnya dan di mana arahnya.

Pemimpinnya berkata, "Kawan-kawan, saudara-saudara, ucapan ini tidak layak bagi kalian dan orang-orang seperti kalian. Lautan terlalu luas untuk kalian capai. Ini bukan urusanmu. Ini juga bukan posisimu. Diamlah. Janganlah berbicara dengan pembicaraan seperti ini. Cukuplah kalian yakini bahwa kalian berada karena adanya dan tidak akan ada tanpa keberadaannya.

Mereka berkata, "Jawaban ini tidak akan ada gunanya bagi kami. Larangan tidak akan menahan kami. Kami harus menujunya. Anda harus menunjuki kami untuk mengenalnya dan membimbing kami ke dalam wujudnya. "

Ketika sang pemimpin melihat gelagat ini dan larangannya tidak digubris, ia mulai menjelaskan, "Saudara-saudara, lautan yang kalian cari, yang kalian ingin temui, ada bersamamu dan kalian bersamanya. Ia meliputi kamu dan kalian meliputinya. Yang meliputi tidak terpisah dari yang diliputi. Lautan itu adalah yang di situ kalian berada. Kemanapun kamu menghadap, di situ ada Lautan. Lautan bersama kamu dan kamu barsama lautan. Kamu pada lautan dan lautan pada kamu. Ia tidak gaib darimu, kalian juga tidak gaib darinya. Ia lebih dekat darimu dari pada urat lehermu."

Ketika mendengar ucapan itu, mereka semua bangkit untuk membunuh sang pemimpin. Sang pemimpin lalu berkata kepada mereka, "Apa salahku sehingga kalian mau membunuhku.

Mereka berkata, "Karena, menurutmu, lautan yang kami cari adalah lautan yang di situ kami berada. Bukankah kami berada di dalam air. Apa hubungannya air dengan lautan? Kamu hanya ingin menyesatkan kami dari jalan-nya. Kamu hanya memperdayakan kami. "

Sang pemimpin berkata, "Demi Allah, bukan begitu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Sebetulnya lautan dan air itu satu dalam hakikat. Di antara keduanya tidak ada perbedaan. Air adalah nama lautan dari segi hakikat dan wujud. Lautan adalah nama baginya dari segi kesempurnaan, kekhususan, keluasan, dan kebesaran di atas semua fenomena."

Cerita di atas untuk menggambarkan hubungan makhluk dengan Tuhan seolah-olah hubungan antara penghuni lautan dengan lautan. Perbandingan ini tentu saja tidak tepat. Ia hanyalah upaya untuk menyederhanakan hakikat yang sangat jauh dari ruang lingkup pengalaman kita. Walaupun begitu, kebanyakan orang tidak juga memahaminya. Alih-alih berterima kasih, dalam sejarah, seperti ikan-ikan itu, kita menolak penjelasan itu, mengafirkan mufasirnya, dan tidak jarang membunuhnya. Yang jarang adalah sikap merendah menghadapi sesuatu yang tidak kita pahami. Lebih jarang lagi adalah kesediaan untuk memahami dan menerima penjelasan, seperti yang dilakukan oleh para pendeta Nasrani di zaman khalifah Abu bakar:

Sekelompok pendeta datang ke Madinah. Mereka bertanya kepada Abu Bakar tentang Nabi dan Kitab yang dibawanya. Abu bakar berkata, "Betul, telah datang kepada kami Nabi kami dan ia membawa kitab suci. "Mereka bertanya lagi, "Adakah di dalam kitab suci itu disebut wajah Allah? "Kata Abu Bakar, "Betul.""Apa tafsirnya? "Tanya mereka. Abu Bakar berkata, "ini pertanyaan yang terlarang dalam agama kami. Nabi Saw. tidak menjelaskan kepada kami. "Pendeta itu tertawa seraya berkata, "Demi Allah, Nabi kamu itu hanya pendusta belaka. Kitab suci kamu itu hanyalah kepalsuan dan kebohongan saja. "Ketika mereka keluar dari situ, Salman mengajak mereka menemui Ali bin Abi Thalib. Kepadanya, mereka mengajukan pertanyaan yang sama, Ali berkata, "Aku akan menjawabnya dengan demonstrasi, tidak dengan ucapan. "Ali kemudian memerintahkan kepada seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, dan ia pun membakarnya. Ketika kayu itu terbakar dan menjadi api, "Ali bertanya kepada para pendeta, "Wahai pendeta, mana muka api? "Semua pendeta itu menjawab, "Ini semua muka api. "Mendengar itu, Ali berkata, "Semua wujud ini adalah wajah Allah. (Kemudian 'Ali membaca ayat Al-Quran). Kemana pun kamu menghadap di situ wajah Allah, (QS Al-Baqarah [2]: 115). Semuanya binasa kecuali wajah-Nya. Kepunyaan-Nya segala hukum. Dan kepadanya kamu semua kembali (QS Al-Qashash [28]: 88). "Mendengar penjelasan itu, semua pendeta itu masuk Islam dan menjadi pengikut tauhid yang arif.

Dalam peristiwa tersebut, para pendeta berhasil memahami makna ayat-ayat itu. Tapi Ali, yang bergelar Taj Al-Arifin, pernah mengalami peristiwa yang mengenaskan. Ia menyampaikan sesuatu yang berada di luar kemampuan orang yang mendengarnya. Hamam, seorang yang taat beribadah, memohon kepada Ali untuk menjelaskan tanda-tanda orang-orang takwa. Ali berkhotbah tentang hubungan seorang yang bertakwa dengan Tuhan. Begitu 'Ali selesai berkhotbah, Hamam jatuh pingsan dan akhirnya meninggal dunia."Tadi aku sebelumnya mencemaskan dia."

Para Nabi dan kekasih-kekasih Tuhan adalah orang-orang yang telah mencapai tahap yang sangat tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan. Kedekatan mereka dengan Tuhan telah memberikan kepada mereka  pengetahuan langsung ('ilm hudhuri); dan bukan pengetahuan yang berdasarkan pembuktian rasioal {'ilm hushuli). Ketika mereka ingin menyampaikan apa yang mereka saksikan kepada orang awam, mereka tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat dan cepat dimengerti.

Kenyataan inilah yang menyebabkan lidah Musa a.s. terikat sehingga ia berdoa: "Tuhan-ku, legakan dadaku, mudahkan urusanku, dan lepaskan ikatan lidahku, supaya mereka mengerti pembicaraanku" (QS Tha Ha [20]: 25-28). Ini juga yang menyebabkan Nabi Muhamad Saw. berkata, "Tidak seorang nabi pun yang merasakan sakit seperti yang kuderita. Maknanya berkaitan dengan ketidakmampuan Nabi untuk menyampaikan secara utuh apa yang dialami, atau menemukan orang yang dapat menerimanya. Hal itu menyedihkan beliau meskipun pengalaman beliau lebih besar dibanding penglaman para nabi sebelumnya, namun dia tidak dapat menyampaikannya kepada semua orang sesuai dengan keinginannya. Bayangkan kesedihan seorang ayah yang ingin membuat anaknya yang buta dapat memahami matahari; bagaimana ia dapat menyampaikannya sehingga dapat menjelaskan arti dari cahaya."

Kita yang awam ini adalah orang-orang buta dan tuli. Kita hanya menyaksikan hal-hal yang material saja, wujud yang terendah. Dalam pandangan Ibnu Arabi, materi adalah wujud yang paling banyak adam-nya\ eksistensi yang paling non-eksisten.